Anak Brandal, Mati Husnol Khotima

Anak Brandal, Mati Husnol Khotima
Anak Brandal, Mati Husnol Khotima

Di sebuah kota kecil di pinggiran pulau, hiduplah seorang pemuda bernama Bima. Sejak kecil, Bima dikenal sebagai anak yang nakal dan sulit diatur. Seiring bertambahnya usia, sifat keras kepala dan pemberontaknya semakin menjadi-jadi. Dia kerap terlibat dalam perkelahian, balapan liar, dan tindakan-tindakan yang membuat keluarganya resah. Bagi Bima, hidup adalah tentang kebebasan tanpa aturan. Lingkungannya pun tidak membantu, dia dikelilingi oleh teman-teman yang sama-sama berandal, sehingga semakin jauh dari jalan kebaikan.

Bima adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh di pelabuhan, sedangkan ibunya berjualan makanan kecil di rumah. Orang tuanya, meskipun hidup dalam kesederhanaan, selalu mengajarkan nilai-nilai agama dan kebaikan. Namun, bagi Bima, semua itu hanyalah angin lalu. Shalat lima waktu yang diajarkan ibunya sejak kecil tak pernah lagi dikerjakannya. Berbagai nasihat yang diberikan ayahnya pun tak pernah diindahkan.

Hari-harinya diisi dengan aktivitas yang tak berguna, bahkan sering kali merugikan orang lain. Dia kerap berurusan dengan polisi, terlibat kasus pencurian kecil hingga perkelahian antar kelompok. Namun, karena keberaniannya yang dianggap luar biasa, Bima malah semakin dikenal dan disegani oleh kelompok-kelompok jalanan di kotanya. Status sebagai “preman” itu justru membuatnya bangga. Tapi di balik itu, jauh di lubuk hati, Bima sebenarnya sering merasa kosong. Ada bagian dari dirinya yang seolah hilang, meski tak pernah dia pahami.

Suatu hari, hidup Bima berubah drastis. Semua bermula ketika sahabat karibnya, Andi, mengalami kecelakaan tragis saat sedang balapan liar. Andi meninggal di tempat, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan teman-temannya. Kejadian itu mengguncang Bima. Di pemakaman Andi, saat melihat jenazah sahabatnya dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba Bima merasakan hal yang aneh. Dia merasa sangat takut, bukan hanya takut pada kematian, tapi juga pada kehidupan yang selama ini dia jalani. Apa jadinya jika dia mati dalam keadaan seperti ini? Apa yang akan terjadi padanya di akhirat nanti?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Bima. Malam-malamnya diisi dengan kegelisahan yang tak berkesudahan. Sosok Andi yang dulu penuh tawa kini sudah tiada. Bima tak bisa berhenti memikirkan akhir hidupnya sendiri. Pada satu malam yang sepi, ketika semua orang sudah tertidur, Bima keluar dari rumah dan berjalan tanpa arah. Kakinya membawanya ke sebuah masjid tua di ujung kota, masjid yang sudah lama dia abaikan. Di depan pintu masjid, Bima tertegun. Dalam hatinya, ada dorongan yang begitu kuat untuk masuk. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Bima melangkahkan kaki ke dalam rumah Allah.

Di dalam masjid, suasana hening. Hanya ada beberapa jamaah yang sedang melakukan shalat tahajud. Bima duduk di sudut ruangan, bingung, tak tahu harus berbuat apa. Air matanya mulai mengalir, entah mengapa, Bima merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Malu pada kehidupan yang selama ini dia jalani, malu pada Tuhan yang sudah dia abaikan begitu lama. Di sudut masjid itu, untuk pertama kalinya Bima bersujud, memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang pernah dia perbuat.

Sejak malam itu, Bima bertekad untuk berubah. Dia mulai rajin ke masjid, mendalami agama, dan perlahan-lahan menjauh dari kehidupan lamanya. Teman-temannya sempat heran melihat perubahan drastis pada diri Bima, beberapa bahkan mengejek dan merendahkannya. Namun, Bima tak goyah. Dia sudah merasa tenang dengan pilihannya. Dia yakin bahwa hidup yang penuh maksiat dan keburukan hanya akan membawanya kepada kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat.

Perlahan, Bima mulai mendapatkan kedamaian dalam hidupnya. Dia semakin dekat dengan keluarga, terutama dengan ibunya yang selama ini tak pernah berhenti mendoakannya. Hubungannya dengan orang tua dan saudara-saudaranya semakin erat. Dia juga mulai aktif di kegiatan sosial di lingkungan sekitarnya, membantu orang-orang yang membutuhkan, dan mencoba menebus kesalahan-kesalahan masa lalunya. Bima tak lagi merasa kosong seperti dulu. Dia menemukan makna hidup yang sebenarnya, yaitu berada di jalan Allah.

Namun, cobaan tak berhenti sampai di situ. Suatu hari, Bima merasakan sakit di dadanya yang luar biasa. Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa dia menderita penyakit jantung yang sudah cukup parah. Bima hanya bisa tersenyum mendengar kabar itu. Dia sudah siap, karena baginya, semua yang terjadi adalah kehendak Allah. Keluarganya tentu saja sangat terpukul, namun Bima justru tampak lebih tenang dan pasrah.

Di hari-hari terakhir hidupnya, Bima tetap berusaha berbuat baik. Meski tubuhnya lemah, dia tak pernah absen dari masjid. Hingga akhirnya, pada suatu malam, Bima dipanggil oleh Sang Pencipta. Dia meninggal dengan senyuman di wajahnya, setelah selesai melaksanakan shalat Isya. Kepergian Bima meninggalkan kesan mendalam bagi banyak orang, terutama teman-teman lamanya yang sempat meremehkan perubahannya. Bima, si pemuda berandal yang dulu dikenal sebagai sumber masalah, kini dikenang sebagai orang yang insaf dan wafat dalam keadaan husnul khotimah.

Setelah kematiannya, kisah Bima sering diceritakan sebagai pelajaran bagi banyak anak muda di kota itu. Bahwa tak ada kata terlambat untuk berubah, dan bahwa pintu ampunan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau kembali ke jalan yang benar. Bima telah menemukan kedamaian sejati, dan hidupnya yang kelam berakhir dengan cahaya terang yang menuntunnya menuju rahmat Allah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *